Jika Anda ingin makalah yang lengkap dalam format Microsoft Word silahkan download disini.
A. PENGERTIAN BEDAH MAYAT
Secara etimologi bedah mayat adalah pengobatan dengan jalan memotong bagian tubuh seseorang.
Dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah Al-Jirahah yang berarti melukai, mengiris, atau operasi pembedahan.
Sedangkan secara terminologi bedah mayat adalah suatu penyelidikan atau pemeriksaan tubuh mayat, termasuk alat-alat organ tubuh dan susunannya pada bagian dalam. Setelah dilakukan pembedahan atau pelukaan, dengan tujuan menentukan sebab kematian seseorang, baik untuk kepentingan ilmu kedokteran maupun menjawab misteri suatu tindak kriminal.
B. PEMBAGIAN BEDAH MAYAT
Ditinjau dari aspek dan tujuannya bedah mayat dapat dibagi menjadi 3 kelompok yaitu :
a. Bedah Mayat Pendidikan
Ialah pembedahan mayat dengan tujuan menerapkan teori yang diperoleh oleh mahasiswa kedokteran atau peserta didik kesehatan lainnya sebagai bahan praktikum tentang ilmu viral tubuh manusia (anatomi).
Praktek yang dilakukan oleh Fakultas Kedokteran untuk mengetahui seluk-beluk organ tubuh manusia. Agar bisa mendeteksi organ tubuh yang tidak normal dan terserang penyakit untuk mengobatinya sedini mungkin atau tujuan lainnya seperti untuk mengetahui penyebab kematiannya seiring maraknya dunia kriminal saat ini, dengan membedah jasad manusia.
Dari hal di atas maka timbullah pertanyaan besar “Apakah hal ini dibolehkan secara Syar’i atau tidak, bila yang dibedah adalah mayat muslim” karena praktek seperti ini hampir dilakukan di semua Fakultas Kedokteran.
Otopsi jenazah muslim untuk belajar ilmu kedokteran, Islam sebagai agama yang telah disempurnakan oleh Allah SWT telah menetapkan beberapa kaidah untuk menjawab permasalahan yang belum terjadi pada masa Rasulullah SAW diantara kaidah tersebut adalah “Apabila berbenturan dua kemashlahatan maka yang dilakukan yang paling banyak mashlahatnya, juga apabila berbenturan dua mufsadat maka dilakukan yang paling ringan mufsadatnya.”[1]
Tema penggunaan jenazah sebagai objek penelitian termasuk kasus baru yang jawabannya tidak dipandu langsung oleh Al-Qur’an dan hadits (nash). Padanan eksplisit dalam nash pun tidak dijumpai. Sehingga tidak bisa dipakai metode Qiyas (analogi). Kasus demikian, dalam kajian Fiqih, dicari solusinya dengan metode tarkhrij. Yakni, dicari analogi pada norma hukum yang dihasilkan lewat ijtihad karena tidak dipaparkan langsung oleh nash.
b. Bedah Mayat Keilmuan
Ialah pembedahan yang dilakukan terhadap mayat yang meninggal di rumah sakit, setelah mendapat perawatan yang cukup dari para dokter.
Bedah mayat ini biasanya dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui secara umum atau secara mendalam.
Sifat perubahan suatu penyakit setelah dilakukan pengobatan secara intensif terlebih dahulu semasa hidupnya dan untuk mengetahui secara pasti jenis penyakit mayat yang tidak diketahui secara sempurna selama dia sakit.
Dengan melakukan otopsi ini seorang dokter dapat mengetahui penyakit yang menyebabkan kematian jenazah tersebut, sehingga kalau memang itu suatu wabah dan di khawatirkan akan menyebar bisa segera diambil tindakan preventif, demi kemashlahatan.
c. Bedah Mayat Kehakiman
Yaitu bedah mayat yang bertujuan mencari kebenaran hukum dari suatu peristiwa yang terjadi, seperti dugaan pembunuhan, bunuh diri atau kecelakaan.
Bedah mayat semacam ini biasanya dilakukan atas permintaan pihak kepolisian atau kehakiman untuk memastikan sebab kematian seseorang. Misalnya, karena tindak pidana kriminal atau kematian alamiah melalui visum dokter kehakiman (visum et reperthum) biasanya akan diperoleh penyebab sebenarnya, dan hasil visum ini akan mempengaruhi keputusan hakim dalam menentukan hukuman yang akan dijatuhkan.
Jika sebelum divisum telah diketahui pelakunya, maka visum ini berfungsi sebagai penguat atas dugaan yang terjadi. Akan tetapi jika tidak diketahui secara pasti pelakunya dan jika bukan karena kematian secara alamiah maka bedah mayat ini merupakan alat bukti bahwa kematiannya bukan secara alamiah dengan dugaan pelakunya orang-orang tertentu.
Seorang hakim wajib memutuskan suatu perkara hukum secara benar dan adil diperlukan bukti-bukti yang sah dan akurat. Autopsi Forensik merupakan salah satu cara atau media untuk menemukan bukti.
Kemungkinan terjadinya pembedahan mayat dapat disebabkan oleh :
1. Untuk mengeluarkan janin
Bila seorang ibu meninggal dunia, dalam keadaan hamil, dan bayi yang dikandungnya masih dalam keadaan hidup.
Dalam hal ini para ulama berselisih dalam menentukan hukumnya, apakah harus dibedah perut ibu atau tidak?
a. Menurut Imam Malik dan Ahmad
Mengatakan tidak boleh dibedah perut seorang ibu meskipun bayi yang dalam kandungannya masih hidup, namun dikeluarkan dengan cara diambil dari jalan Farji oleh tenaga medis.
b. Sedangkan Menurut Imam Syafi’i, Ibnu Hazm dan sebagian ulama Malikyah mengatakan bahwa dalam keadaan seperti itu dibedah perut ibu demi keselamatan bayi dalam kandungannya.
c. Menurut Ulama Syafi’i
Bahwa jika yang meninggal adalah seorang perempuan dan didalam perutnya ditemukan janin yang masih hidup, maka perut perempuan itu dibedah dalam keadaan darurat, maka pembedahan ini boleh dilakukan kalau ada harapan janin itu untuk hidup atau berumur 6 bulan keatas. Jika kurang dari 6 bulan tidak ada harapan untuk hidup, maka pembedahan itu haram dilakukan. Hal ini didasarkan sabda Nabi yang berbunyi :
Artinya : “Sesuatu yang diperbolehkan karena, hanya boleh dilakukan sekedarnya saja.”
d. Menurut Mazhab Maliki perut mayat tidak boleh dibedah
Hal ini didasarkan pada sabda Rasulullah SAW yang mengatakan bahwa memecah tulang mayat sama haramnya dengan memecah tulang manusia yang hidup. (H.R. Abu Daud dari Aisyah binti Abu Bakar). Seiring dengan kewajiban terhadap mayat, yakni memandikan, mengkafani, menyalatkan, dan menguburkan sebagai penghormatan bagi mayat.
e. Ulama Mazhab Hanafi sependapat dengan Mazhab Syafi’i
Bahwa jika ada sesuatu yang bergerak dan diduga yang bergerak itu adalah janin yang masih hidup, maka perut ibu boleh dibedah demi membela kehormatan yang masih hidup.
Senada dengan pendapat ini menurut Syekh Yusuf Dajwi (guru besar hukum Islam Mesir) mengatakan bahwa “bedah mayat itu merupakan darurat pada keadaan tertentu, seperti kematian yang diduga karena pembunuhan sehingga pembunuh sesungguhnya dapat diketahui.”
2. Untuk mengeluarkan benda berharga dalam perut mayat.
Dalam kitab fiqih, diantaranya kitab fiqih sebagian Mazhab Maliki dan umumnya Mazhab Syafi’i, disebutkan bahwa “apabila seseorang pada masa hidupnya sempat menelan uang logam (koin), maka ketika ia meninggal perutnya dibedah untuk mengeluarkan uang logam tersebut.” Ukuran uang logam yang dikeluarkan tersebut lebih kurang bernilai ¼ dinar, atau 3 dirham (satu dinar = 4,5 gram emas, jadi ¼ dinar =1,125 gram emas).
Nuruddin Atr (ahli hadits dari Syriah) mengatakan bahwa “jika sekedar mengeluarkan uang logam dari perut mayat dibolehkan, maka membedah mayat untuk mengetahui sebab kematiannya dan kepentingan ilmu kesehatan lebih diutamakan lagi, karena kepentingannya jauh lebih besar dari pada sekedar pembedahan untuk mengeluarkan uang logam yang tertelan itu.”
Ketidakbolehan sebagaimana yang tertuang dalam hadits riwayat Abu Daud diatas merupakan keharaman secara umum tanpa ada tujuan yang bermanfaat. Akan tetapi, berdasarkan kebutuhan darurat, sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan kepintaran pelaku kriminal untuk alibi dalam satu pembunuhan, maka secara medis perlu dilakukan pembedahan mayat, hal ini menurut Hasan M. Makhluf termasuk kepada kaidah fikih yang mengatakan “segala sesuatu yang membawa kesempurnaan yang wajib, maka hukumnya wajib pula.”
3. Menegakkan kepentingan umum
Peralatan modern kadang-kadang sulit juga membuktikan sebab-sebab kematian seseorang dengan hanya penyelidikan dari luar tubuh mayat. Kesulitan tersebut, cukup menjadi alasan untuk membolehkan membedah mayat sebagai bahan penyelidikan, karena sangat diperlukan dalam penegakkan hukum, dan sesuai dengan kaidah fiqhiyyah :
Tidak haram bila darurat dan tidak makruh karena hajat.
4. Memperhatikan kepentingan pendidikan dan keilmuan
Diantara ilmu dasar dalam pendidikan kedokteran ialah ilmu tentang susunan tubuh manusia yang disebut anatomi. Untuk membuktikan teori-teori dalam ilmu kedokteran tersebut, tentu dengan jalan praktek langsung terhadap manusia. Otopsi menurut teori kedokteran atau bedah mayat, merupakan syarat yang amat penting bagi seorang calon dokter, dalam memanfaatkan ilmunya kelak.
Sekiranya mayat itu diperlukan sebagai sarana penelitian untuk mengembangkan ilmu kedokteran, maka menurut hukum Islam, hal ini dibolehkan, karena pengembangan ilmu kedokteran bertujuan untuk mensejahterakan umat manusia.
Pembedahan mayat tidak boleh dilakukan secara berulang-ulang, karena mayat hendaknya segera dikuburkan bukan untuk dipamerkan.
Sebagaimana sabda Rasulullah yang berbunyi :
Artinya : Percepatlah mengantar jenazah ke kuburnya. Bila dia seorang yang shaleh maka kebaikanlah yang kamu hantarkan kepadanya dan dia kebalikannya, maka sesuatu keburukan yang kamu tanggalkan dari beban lehermu. (HR. Bukhari).
C. HUKUM BEDAH MAYAT
Dalam Al-Qur’an tidak ditemukan ayat yang mengandung secara pasti tentang bedah mayat akan tetapi, terdapat beberapa ayat Al-Qur’an yang dapat dijadikan isyarat mengenai landasan praktek bedah mayat ini. Seperti janji Allah SWT yang akan memperlihatkan tanda-tanda kebesaran-Nya. Diangkasa mar (ufuk) dan yang ada didalam diri manusia itu sendiri. Seperti dijelaskan dalam Surat Funssilat Ayat 53 yang berbunyi :
Artinya : “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kebesaran) Kami disegenap penjuru dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Qur’an itu benar. Tidak cukupkah (bagi kamu) bahwa tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?”
Pengertian dalam diri manusia ini menurut para mufasir, berarti didalam tubuh manusia ada nilai ilmu pengetahuan dan kebenaran untuk diteliti.
Dan dalam Surat Al-anbiya Ayat 35 yang berbunyi :
Artinya : “Setiap yang bernyawa itu akan mengalami mati, Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan. Dan kamu akan dikembalikan hanya kepada Kami.”
Dalam ayat tersebut diterangkan bahwa Allah SWT menyatakan bahwa setiap yang bernyawa akan mengalami kematian, dengan kematian itu akan diuji unsur kejahatan dan kebaikan dan ayat ini sangat berkaitan dengan pernyataan Allah SWT bahwa manusia adalah makhluk mulia. Yakni dalam Surat Al-Isra’ Ayat 70 yang berbunyi :
Artinya : “Dan sungguh, Kami telah memuliakan anak Adam, dan Kami angkut mereka di darat dan di laut dan Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka diatas banyak makhluk yang Kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna.”
Untuk menyingkap kebenaran atau ketidakbenaran dalam diri manusia di dunia, diperlukan berbagai bidang ilmu pengetahuan. Sebab kemampuan yang dimiliki manusia terbatas. Dan semua cabang ilmu pengetahuan itu tidak mungkin dimiliki oleh satu orang saja. Oleh karenanya diperlukan orang yang ahli dibidang tertentu untuk menjawab persoalan yang muncul jika kita tidak mengetahuinya.
Seperti : orang yang sakit perlu bertanya kepada dokter tentang penyakitnya agar bisa diobati.
Hukum bedah mayat dengan tujuan anatomis dan klinis dapat berpedoman kepada hadits Rasulullah SAW yang menganjurkan untuk berobat, karena setiap penyakit ada obatnya. (H.R. Abu Daud dari Abu Darda).
Hadits ini juga mengandung anjuran untuk mengembangkan ilmu kesehatan, seperti bedah mayat untuk mengantisipasi penyakit yang belum ditemukan obatnya pada saat itu.
Sedangkan bedah mayat dengan tujuan forensik merupakan salah satu upaya menetapkan hukum secara adil adalah wajib hukumnya. Ini berdasarkan Firman Allah SWT Surat An-Nisa Ayat 58 yang berbunyi :
Artinya : “Sungguh Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum diantara manusia hendaknya kamu menetapkannya dengan adil. Sungguh : Allah sebaik-baiknya yang memberi pengajaran kepadamu, sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha Melihat.”
Jadi pembedahan mayat dengan tujuan sebagai alat bukti dalam tindak pidana dapat dibenarkan. Sebab alat bukti merupakan salah satu unsur dalam proses perkara di pengadilan.
D. PANDANGAN ULAMA TENTANG BEDAH MAYAT (AUTOPSI)
Secara garis besar, dalam hal ini ada dua pendapat :
1. Pendapat pertama menyatakan semua jenis autopsi hukumnya haram
Alasannya hadits berikut, Dari Aisyah r.a bahwa Rasulullah SAW bersabda : “Sesungguhnya mematahkan tulang mayat itu sama (dosanya) dengan mematahkannya pada waktu hidupnya.” (HR Ahmad, Abu Daud, dan Ibnu Majah)
2. Pendapat kedua menyatakan autopsi itu hukumnya mubah (boleh)
Alasannya, tujuan autopsi anatomis dan klinis sejalan dengan prisip-prinsip yang ditetapkan Rasulullah SAW. Dalam sebuah riwayat diceritakan bahwa seorang Arab Badui mendatangi Rasulullah SAW seraya bertanya, “Apakah kita harus berobat?” Rasulullah SAW menjawab, “Ya, hamba Allah. Berobatlah kamu, sesungguhnya Allah tidak menurunkan penyakit melainkan juga (menentukan) obatnya, kecuali untuk satu penyakit, yaitu penyakit tua.” (HR Abu Daud, Tirmidzi, dan Ahmad).
Rasulullah SAW memerintahkan berobat dari segala penyakit, berarti secara implisit (tersirat) kita diperintahkan melakukan penelitian untuk menentukan jenis-jenis penyakit dan cara pengobatannya.
Autopsi anatomis dan klinis merupakan salah satu media atau perangkat penelitian untuk mengembangkan keahlian dalam bidang pengobatan. Tujuan autopsi forensik sejalan dengan prinsip Islam untuk menegakkan kebenaran dan keadilan dalam penetapan hukum.
Dalam literatur fikih kontemporer, ada dua model pendapat. Pertama, pandangan mufti Mesir, Yusuf Ad-Dajwi, yang berkesimpulan bahwa praktek demikian itu boleh (jawaz). Kedua, pendapat mufti Mesir yang lain, Muhammad Bukhet al-Mith’i, bahwa bedah jenazah hanya boleh untuk dua keperluan; mengambil harta orang, misalnya pertama, yang tersimpan di perut jenazah, dan menyelamatkan janin di perut ibunya yang meninggal. Bila untuk penelitian, katanya, tidak boleh (la yajuuz).
Pandangan keduanya merupakan hasil rakhrij atas kajian pada ulama klasik. Berupa bahasan tentang hukum bedah mayat pada dua kasus; mengambil harta dalam perut jenazah, ahli fikih mazhab Hanafi berpendapat boleh bila almarhum atau almahumah tidak meninggalkan harta yang dapat dijadikan ganti. Sebab hak manusia harus didahulukan di atas hak Allah.
Dalam mazhab Syafi’i, menurut pendapat yang masyhur, hal itu dapat dilakukan secara mutlak. Begitu pula pendapat Imam Sahnun al-Maliki. Sedangkan Ahmad bin Hanbal tidak membenarkan. Dalam kasus mengambil janin, ahli fikih mazhab Hanafi dan Syafi’i berpendapat mubah. Sedangkan mazhab Maliki dan Hambali melarang.
Perbedaan itu berpangkal pada perbedaan memahami hadist Nabi kepada penggali kubur agar tidak merusak tulang-belulang yang didapatkan dari kuburan. “Engkau jangan merusak tulang itu, karena merusak tulang seseorang yang telah meninggal sama dengan merusak tulang seseorang yang masih hidup,” sabda Nabi, diriwayatkan Malik, Ibnu Majah, dan Abu Daud dengan sanad yang sahih.
Pendapat yang melarang operasi perut jenazah berasal dari pemahaman hadits itu secara mutlak, dalam kondisi apapun. Sedangkan alasan pendapat yang membolehkan adalah darurat, seperti menyelamatkan janin dan mengambil harta.
Syekh Abdul Majid Sulem, mufti Mesir yang lain, dalam al-Fatawa al-Islamiyah, berkomentar terhadap hadits tadi. Menurutnya, hadits itu berlaku bila tidak ada kemashlahatan lebih krusial (mashlahah rajihah). Bila ada kemashlahatan lebih krusial yang wajib dikuburkan. Pandangan MUI, 20 tahun silam, itu sejalan dengan fatwa Yusuf Ad-Dajwi.
Komisi Fatwa MUI, membuat keputusan dengan beberapa klausul :
Pertama, hukum asal pengawetan jenazah adalah haram. Sebab jenazah manusia itu terhormat, sekalipun sudah meninggal. Orang yang hidup wajib memenuhi hak-hak jenazah. Salah satunya, menyelenggarakan jenazah dikuburkan.
Kedua, pengawetan jenazah untuk penelitian dibolehkan, tapi terbatas (muqoyyad). Dengan ketentuan, penelitian itu bermanfaat untuk pengembangan keilmuan dan mendatangkan mashlahat lebih besar; memberikan perlindungan jiwa. Bukan untuk praktek semata.
Ketiga, sebelum pengawetan, hak-hak jenazah muslim harus dipenuhi. Misalnya dimandikan, dikafani, dan disalati. Pengawetan janazah untuk penelitian harus dilakukan dalam batas proporsional, hanya untuk penelitian. Jika penelitian telah selesai, jenazah harus segera dikuburkan sesuai dengan ketentuan syariat Islam.
Keempat, negara diminta membuat regulasi yang mengatur ketentuan dan mekanismenya.
Kaidah dalam agama Islam, ulas Masdar F Mas’udi dari Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), segala sesuatu pada dasarnya diperbolehkan sampai ada dalil yang menyatakan terlarang.
Organ tubuh dalam hukum Islam menyangkut manusia hidup karena terkait dengan jiwa. Sejauh ini belum ada aturan tentang donasi tubuh manusia setelah meninggal, karena itu boleh dilakukan. Apalagi tujuan donasi adalah untuk menyelamatakan jiwa manusia. Hal ini dihargai dan dinilai sebagai amal jariah.
Izin penggunaan mayat bisa diberikan oleh pemilik saat masih hidup atau izin keluarga jika telah meninggal. Untuk mayat yang tak teridentifikasi, izin diberikan oleh pemerintah.
Hal senada dikemukakan Prof. Dr. Komaruddin Hidayat dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Menurutnya, sesungguhnya tidak perlu ada kekhawatiran jika mendonorkan tubuh maka tubuh menjadi tidak lengkap saat menghadap Tuhan.
“Saat seseorang meninggal dunia, jiwanya meninggalkan tubuh untuk menghadap Tuhan, sedang tubuh hancur bersama tanah. Jika disumbangkan untuk riset dan pendidikan yang bermanfaat bagi kemanusiaan, si pemilik akan mendapat pahala,” ujarnya.
Menurut Sekretaris Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Ikatan Dokter Indonesia dr. Agus Purwadianto, SpF, SH, Msi, Indonesia telah memiliki peraturan dan fatwa mengenai bedah mayat, antara lain Fatwa Majelis Pertimbangan Kesehatan dan Syara’ Kementerian Kesehatan No 4/1955, yang menyatakan bedah mayat hukumnya mubah (tidak diharamkan dan tidak dihalalkan).
Dalam Fatwa No 5/1957 dijelaskan tata cara penggunaan mayat untuk kepentingan pendidikan. Selain itu, ada Peraturan Pemerintah No 18/1981 tentang Bedah Mayat Klinis dan Bedah Mayat Anatomis serta Transplantasi Alat dan atau Jaringan Tubuh Manusia (ATK).
Subhanallah..keren!! Mau izin share ya! ^___^V
BalasHapus